BERITA TERBARU
SMTDepag RI Kirim Kepala MANJ Ke Australia
Di tahun 2008 ini, kembali Depag RI mengirimkan beberapa kepala Madrasah Aliyah yang telah mengikuti kegiatan PPWKM sebelumnya. Kini kegiatan yang berorientasi pada pengembangan wawasan kepala Madrasah tersebut memilih Australia sebagai tempat belajar mulai tanggal 27April-09 Mei 2008. ...Selengkapnya...

PORNOGRAFI, PORNOAKSI; SEBUAH FAKTA!

Tindak kejahatan dan pelecehan seksual semakin marak tersaji disekitarkita yang dipicu oleh tampilan atau tayangan pornoaksi dan pornografi haruskah ini dibiarkan ?

Sebagaimana diketahui, kasus tindak pornografi dan pornoaksi memang sudah berlangsung sejak lama. Selama tahun 1956-1971 saja setidaknya terdapat 10 orang penanggung jawab media terkenal dengan menyiarkan materi seks. Pada tahun 1984 pengadilan telah memutuskan Dewi Angriani Kusuma dijatuhi hukuman penjara 3 bulan karena kasus kalender bugil. Kasus tebaru tentang tindak pornografi dan pornoaksi ini adalah goyang ngebor Inul Daratista, foto telanjang Anjasmara, dan foto model Isabel Yahya dalam pameran CP Bienalle 2005. Pada pertengehan Juni tahun 2000 pengadilan negri Jakarta menvonis tokoh teater Nano Riantiarno hukuman selama 5 bulan penjara. Vonis dijatuhkan karena majalah MATRA yang dipimpinnya memuat materi yang dinilai asusila (detik.com.19/1/2006). Januari 2006 lalu juga heboh denga munculnya aksi nudis dua gadis Bali di internet (detik.com.19/1/2006). Penelitian yang dilakukan pusat study hukum Universitas Islam Indonesia menyebutkan sekitar 15 persen dari 202 responden remaja berumur 15-25 tahun sudah melakukan hubungan seks, karena terpengaruh oleh tayangan pornografi dan pornoaksi melaui internet, VCD, TV, dan bacaan pornografi dan pornoaksi. Dari penelitian tersebut juga terungkap 93,5 % remaja telah menyaksikan VCD porno dan dengan alasan sekedar ingin tahu 69,6 % dan dengan alasan lain hanya 18, 9 %.(Suara merdeka, 29-11-2003). Di Indonesia rata-rata terjadi 5 sampai 6 perempuan diperkosa setiap harinya (Republika, 29/5/1994). Di AS, berdasarkan angka statistik nasional, 1,3 perempuan diperkosa setiap menitnya, sama dengan 1.872 perhari atau 683.280 perempuan pertahun (Islam The Choice Of Thinking Women). Penelitian di Ontario Kanada membuktikan, 77 % dari pelaku perkosaan sodomi (pria) dan 87 % pemerkosa wanita menonton secara rutin bacaan dan tontonan porno. Liberalisasi pornografi di AS, Inggris, dan Australia telah meningkatkan angka pemerkosaan (Thomas Bombadil ; British National Party). Menurut Dr. Mary Anne Layden , Direktur pendidikan Unversity of Pennsylvania Health System, menyatakan, " Saya telah memberikan perlakuan terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual (perkosaan,Red) selama 13 tahun. saya belum pernah menangani satu kasus pun yang tidak diakibatkan oleh pornografi !." (Sumber: Gov,Haven Bradford. "Child Sex Abuse: American's Dirty Little Secret." MS Voices for Children. 3/2000).

Tarik ulur pro dan kontra

Seolah menutup mata terhadap akibat yang ditimbulkan, para artis, seniman, budayawan, dan para pengusung leberalisme-yang terkumpul dalam aliansi Bhinneka Tunggal Ika, mereka beramai-ramai menentang upaya pemerintah yang hendak memberantas tindak pornografi dan pornoaksi ini, sebagai pihak yang kontra terhadap disahkannya RUU APP tersebut,mereka menyebut bahwa RUU APP akan melanggar HAM, khususnya hak perempuan untuk mengekspresikan keindahan tubuhnya. Disamping itu, RUU APP dinilai mengancam heterogenitas budaya di Indonesia yang disejumlah daerah (seperti di Bali, Papua, dan daerah lain) memang masih menampakkan sebagian tubuh secara telanjang, sehingga RUU APP tersebut jika disahkan dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Mereka juga menyatakan bahwa tidak pada tempatnya Negara mengatur-atur masalah moral dan kesopanan individu (seperti tata cara berpakaian). RUU ini juga mengancam pertumbuhan ekonomi karena akan memeresotkan bisnis hiburan, pakaian dan kesenian, disamping akan memasung kreatifitas dan membelenggu hasil karya seni dan lain sebagainya. Terakhir, mereka berpendapat bahwa RUU APP ini tidak ubahnya merupakan "formalisasi" hukum Islam, karena memang yang menjadi acuan dan istilah didalamnya banyak mengadopsi dari hukum Islam.

Sebenarnya ada beberapa hal-yang membuat mereka menolak disahkannya RUU APP ini. Pertama, gencarnya arus globalisasi dan liberalisasi sekuler. mereka mengembangkan logika bahwa seni adalah seni yang mempunyai nilai sendiri, dan agama adalah agama yang harus tahu batas-batasnya. Jika seni dimasuki nilai agama, maka hancurlah kesenian. Dan umumnya, para oengusung liberalisme yang berlindung dibalik HAM memandang larangan terhadap pornografi dan pornoaksi hanyalah akan mengekang kebebasan berekspresi. Kedua, tidak jelasnya definisi tentang batasan-batasan (sensual) pornoaksi,sehingga dengan berlindung pada definisi kabur tentang pornografi dan pornoaksi ataupun berlindung di balikn "Art" , tindak pornografi dan pornoaksi malah semakin marak dan sangat meresahkan masyarakat. Ketiga, sebagaimana dilansir oleh harian Republika 26/01/2006, adanya unsur kapitalisme global. Di AS, dari bisnis pornografi untung US$ 7 miliar pertahun. Di Inggris, 20 juta eksemplar majalah porno terjual pertahun . Menurut penelitian, di seluruh dunia ada sekitar 26.000 situs porno. Jumlah ini akan terus bertambah dengan 1.500 situs porno baru setiap bulannya. Situs porno lokal saja tidak kurang dari 1100 buah. Buktinya, begitu maraknya tayangan-tayangan yang mengumbar aurat, baik media elektronik maupun cetak. Seperti dalam sinetron Film, tayangan tengah malam, VCD, DVD, Internet bahkan penyebaran via ponsel. Belum lagi kemudahan untuk mendapatkan media syur menambah parahnya kondisi moral bangsa ini. Cukup dengan tiga ribu rupiah, tabloid syur dapat dibeli di lapak-lapak pinggir jalan oleh siapa saja dan kapan saja. Dengan sangat menyedihkan pornografi dan pornoaksi telah menyatu menjadi perilaku masyarakat, maka tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai surga pornografi dan pornoaksi kedua setelah Rusia berdasarkan hasil riset kantor bertita AP. Keempat, pengaruh budaya asing, khususnya budaya yang bersumber dari Amerika, karena memang dari dulu sampai sekarang, ada booming budaya luar yang masuk ke Indonesia. Bahkan, terdapat unsur westernisasi dan kristenisasi yang digembong-gembongkan oleh pihak luar,terutama melalui fun, food, dan fashion. Disadari atau tidak, budaya tersebut sudah mendarah daging,jangankan di masyarakat Indonesia pada umumnya, dipondok pesantren sekalipun sudah gampang ditemui.

Sementara berbagai pihak yang merasa gerah dengan aksi pornografi dan pornoaksi yang telah terjadi selama ini (pro RUU APP), menilai tindak pornografi dan pornoaksi telah semakin merajalela dan dampaknya sudah sangat meresahkan dan sangat berbahaya bagi keselamatan generasi mendatang, mereka juga berupaya kuat untuk mendukung upaya pemerintah. Pemerintah sendiri memandang tindak pornografi dan pornoaksi yang tengah menjadi sudah tidak dapat ditorelir lagi dan berupaya untuk menghentikannya. Seperti yang dikatakan presiden Bambang Susilo Yudoyono yang menegaskan bahwa kegiatan pornografi dan pornoaksi yang sekarang terjadi di masyarakat sudah tidak bisa ditolerir lagi. Hal ini dikatakan ketika presiden menerima Menpora Adiyaksa Daut bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta di kantor kepresidenan Jakarta, senin 28/3/2006.

Pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne yang artinya pelacur, dan graphien yang artinya gambar atau tulisan (Detik. com.12- 03 2006). Dalam draff RUU APP, didefinisikan bahwa pornografi adalah subtansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan atau erotika. Sedangkan pornoaksi adalah perbuatan mengeskploitasi seksual, kecabulan, dan atau erotika dimuka umum.

Urgensi RUU APP

Tambah maraknya bentuk pornografi dan pornoaksi ,baik di media cetak maupun media elektronik, ataupun yang tampak di masyarakat kita, semakin lama semakin besar. Fenomena ini semakin diperparah dengan pengaruh budaya barat (westernisasi) yang menjadi mainstream dan sudah sangat mendarah daging di Indonesia. Belum lagi adanya kepentingan bisnis (kapitalisme global) yang orientasinya demi keuntungan bisnis semata, sehingga fakta ini berdampak pada dekadensi moral (krisis akhlak) dan hilangnya jati diri bangsa. Lalu bagaimana dengan adanya ancaman disintegrasi bangsa ? Sebenarnya, didalam draff RUU APP Bab III sudah disebutkan bahwa, pelarangan pornoaksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 sampai dengan pasal 32, dikecualikan untuk : a. Cara berbusana dan atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat istiadat dan atau budaya kesukuan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan; b. Kegiatan seni (di tempat khusus); c. Kegiatan olah raga (di tempat khusus) , atau tujuan pendidikan dalam bidang kesehatan. KHARISMA sempat meminta beberapa keterangan dan pendapat seputar polemik RUU APP dari beberapa tokoh. "Jadi, adanya disintegrasi itu telah kita coba antisipasi ", jawab Abdul Hamid Wahid, M.Ag. anggota DPR RI yang juga anggota Pansus RUU APP itu. Lebih jauh dia mengungkapkan tentang ancaman disintegrasi bangsa telah menjadi isu utama juga dalam rapat anggota DPR sehingga pemerintah tidak akan gegabah dalam mengesahkan RUU APP tersebut. Adanya asumsi RUU APP mengarah pada formalisasi hukum Islam sempat juga ditanyakan oleh KHARISMA. "Semua agama tidak ada yang menghalalkan segala bentuk pornografi dan pornoaksi", jawab Lathoif Ghozali, Lc.,M.Ag. dari kedua tokoh tersebut menyeragamkan pendapat bahwa asar pijakan RUU APP tidak hanya berdasarkan pada satu agama (Islam, red.) saja, melainkan pada semua agama yang ada di Indonesia.

Bagi kalangan yang kontra terhadap RUU APP menginginkan penerapan hukum yang telah ada dalam KUHP untuk mengantisipasi dan menanggulangi persoalan pornografi dan pornoaksi, pada hal beragam kasus yang telah muncul mulai dari media massa dan televisi khususnya perfilman justru malah mengkaburkan kasus aksi pornografi dan pornoaksi yang disebabkan tidak adanya ketentuan dan batasan khusus yang dijadikan pijakan sebagai undang-undang. "RUU APP merupakan kebutuhan mutlak bangsa kita, disamping KUHP yang lama tidak mengatur tindak pornografi dan pornoaksi secara jelas, juga karena saat ini bangsa Indonesia berada dalam krisis moralitas ", kata Muwahid,S.H.,M. Hum. dosen Ilmu Hukum IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Pemerintah dalam mempersiapkan RUU APP telah melibatkan berbagai pihak guna mendapat masukan sebagai bahan pertimbangan dalam mengesahkan RUU APP tersebut. oleh karenanya peran media sebagai penyampai informasi selayaknya dapat berpartisipasi memberikan informasi objektif seputar proses RUU APP agar tidak terjadi misinformasi, dan dapat memberika informasi yang imbang baik dari yang pro maupun yang kontra, jangan malah sebaliknya. Hal tersebut guna menciptakan masyarakat dapat memahami dengan utuh bahwa RUU APP tidak kaku. Jadi, UU APP, Why Not !

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Powered by    Login to Blogger