Guru Harus Bisa Bahasa Inggris Aktif
Pertemuan yang bertempat di ruang kepala madrasah itu dimulai tepat pada jam 09.15 WIB dan diawali oleh sambutan singkat Malthuf yang rupanya juga sedikit bingung tentang maksud dan tujuan kedatangan 9 Mahasiswa UIN ke lembaga yang dia pimpin. Malthuf mempersilahkan para mahasiswa agar mengajukan pertanyaan terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan informasi yang mereka inginkan. “saya khawatir nanti malah keterangan saya berlebihan, jadi monggo sampeyan nanya, dan akan kita (pengurus.red) jawab bersama”. Sambutnya yang lantas mendapatkan respon dari Siti Chikmatus Sholihah, mahasiswi berkerudung hijau yang mengajukan pertanyaan pertama seputar kurikulum dan ketenagaan.
Menurut Malthuf, hal yang sangat mendasar dalam mewujudkan sekolah bertaraf Internasional adalah faktor guru. Guru selain dituntut untuk memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidangnya juga harus memiliki skill bahasa Inggris aktif sebagai bahasa pengantar di kelas. Hal ini juga ditegaskan oleh Sofy. Menurutnya saat ini guru di Madrasah khususnya di progam IPA bertaraf internasional (MBI) telah menggunakan bahasa Inggris dalam menyampaikan materi di kelas. “Khusus untuk kelas satu, pada semester awal kita masih menggunakan bahasa campuran (Indonesia-Inggris.red)” imbuh Sofy.
Disamping pemberdayaan bahasa Inggris bagi guru dan siswa, MANJ juga merencanakan kelas intensif bagi siswa yang memiliki skill di atas rata-rata dalam bidang tertentu. Mereka diseleksi dari siswa-siswa pada 5 program yang ada di MANJ. “untuk sementara ini hanya itu yang akan kita lakukan, kelas akselerasi pasti akan ada tapi tidak sekarang” terang Malthuf beralasan ketika Hikmah, mahasiswi bertubuh subur itu bertanya tentang kelas akselerasi.
Image Masyarakat Sebagai Tantangan Terbesar
Pola pikir masyarakat
Masih seputar tantangan nyata MANJ ke depan, Ulil Absor, mahasiswa berkacamata ini bertanya tentang peran Madrasah dalam menjaga keseimbangan antara muatan pelajaran di MBI yang lebih fokus kepada materi eksakta dan bahasa Inggris dengan kultur pesantren yang notabene lebih berkonsentarsi kepada pengembangan ilmu agama. Menjawab hal ini Malthuf menegaskan bahwa keseimbangan itu justru terlihat apabila santri mampu bersaing dengan siswa maupun mahasiswa yang ada di diluar pesantren. “kalau materi agama, saya kira santri di sini sudah cukup karena hampir 18 jam dalam setiap harinya mereka mengikuti kegiatan pesantren, di sekolahpun mereka masih disuguhi materi muatan agama seperi Akidah Akhlak, Al-Qur’an Hadits, Fiqh dsb”. Jadi yang masih kurang justru penguasaan sainsnya, ini yang perlu ditingkatkan”. Papar Malthuf.
1 Dari
Peserta observasi mahasiswa UIN yang berkunjung ke PP. Nurul Jadid ini sebenarnya berjumlah 30 orang, mereka dibagi dalam 5 kelompok yang tersebar di 5 lembaga di PP. Nurul Jadid (MANJ, SMUNJ, SMPNJ, MTsNJ dan SMKNJ). “observasi ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah inovasi pendidikan yang alhamdulillah Pesantren Nurul Jadid dijadikan sebagai lahan objek” terang Eka Fitriah Anggraini, mahasiswi yang juga Alumni Program Keagamaan MANJ ini dengan bangga saat dihubungi via ponsel. Masih menurut Eka tema yang diangkat dalam observasi tersebut adalah Inovasi Kurikulum Pendidikan Pesantren. Mahasiswa disebar ke beberapa daerah di Jawa seperti Salatiga,
Dari 30 orang peserta, 1 diantaranya berasal dari Negeri
Ketika ditanya masalah pendidikan di
Comment Form under post in blogger/blogspot